Saturday, January 08, 2005

Aku Bercinta

Oleh: Malulu

Aku memutuskan ini sikapku. Aku takkan mau disentuh oleh lelaki. Lelaki yang aku cintai sekalipun. Tidak. Sebelum aku menjadi isterinya. Tidak akan. Sebab biarpun kami saling mencintai, yang kupahami adalah, kami harus membiarkan diri kami bebas mandiri, tak dimabuki perasaan yang emosional. Tapi dipenuhi perbuatan. Berbuat yang terbaik bagi kekasihku. Dan menerima perbuatan baiknya untukku. Jejaka yang membiarkan aku tumbuh asri, tanpa gangguan tangan halusnya memang aku rasakan sebagai aksi cintanya kepadaku.

Itulah aku. Sebagai gadis ceria dari pertumbuhan remajaku, sudah banyak lelaki yang kukenal. Walaupun mereka tak kuberi menyentuh tubuhku, tetapi mereka semakin mencintaiku dan membiarkan hidupku mandiri.

Mereka memang tidak banyak. Satu, dua, tiga atau…ya empat orang. Itu kuingat benar. Pertama kali, memang mereka jengkel. Masak sudah lama bergaul namun tak ada kecupan di pipi atau pegangan tangan. Gerutu mereka kuingat. Namun aku katakan, ”Bila sempat mengusik pendirianku, biarlah kau pergi entah kemana. Aku tidak akan merasa kecewa atas kepergianmu.” Sebabnya ini. Benar aku merdeka dan tak pernah merindukan elusan tangan si dia yang telah pergi bersanding dengan wanita yang dicintainya.

Cukup menyenangkan memang. Biarpun berpisah dengan pacarku, mereka pamit untuk mempersunting gadis pujaannya, aku tetap tegar penuh semangat. Cinta memang membiarkan sesamanya bertumbuh bebas dan merdeka. Tak diikat oleh puja dan puji yang tak mahal keluar dari si dia yang kucintai.

Di usiaku yang ke-24 tahun, aku bertemu dengan teman sekelasku di SMP dulu. Kenangan di ruang kelas dengannya terus mengalir dalam percakapan kami. Aku aktif bersamanya dalam kegiatan gerejawi. Main drama, koor, kebaktian pemuda dan merayakan Natal. Kami tidak pernah bicara soal cinta. Kami berbicara mesra tentang kegiatan gereja dan masa sekolah kami dulu. Rutin memang sebagai mahasiswa, si dia ini menarik perhatianku. Kegiatan mengajarku selaku guru tetap bersemangat.

Aneh! Pemuda ini lain. Lain dengan yang dulu. Aku punya perasaan lain kepadanya. Aku mungkin cinta dia dan… anehnya tanganku dipegangya. Itu kali pertama tanganku dipegang. Berkesan memang. Tanpa curiga seikitpun sepertinya kubebaskan dia. Tapi hanya itu. Ia tidak kutolak. Kenapa aku membiarkannya? Entahlah, aku tidak tahu. Mungkinkah ini tanda kerelaanku bersamanya? Inilah pertanyaanku. Aku teringat tekadku semula. Aku takkan mau disentuh oleh teman lelakiku, kecuali ia akan menjadi suamiku. Tetapi kenapa yang satu ini? Kenapa harus dia? Apakah ia bersedia jadi suamiku? Saat ini ia masih mahasiswa, belum ada jaminan mau mempersuntingku.

Keraguanku mulai terbukti ketika ia mulai menggandeng wanita lain di hadapanku. Soalnya sepele. Ibuku marah ketika kawanku ini datang. Besoknya ia bersama gadis lain. Tapi aku kuatir. Tak mungkin kemarahan ibuku memisahkan kami. Aku tak putus asa. Seperti biasa aku bertemu dia di gereja. Hanya saja aku tidak diantarnya pulang seperti selama ini.

Tanpa kuketahui penyebabnya ia datang lagi. Dan memulai percakapan pengalaman sewaktu kami di SMP dulu. Saat ia diwisuda, orang tuanya datang ke rumah kontrakku, ia memperkenalkan ayahnya. Calon mertuaku? Tidak. Sebab kami tidak pernah bicara soal perkawinan, tetapi, mungkin juga. Sebab kenapa orang tuanya harus dibawa kepadaku? Ia memang pernah cerita. Tanpa persetujuan orangtuanya ia takkan menikah dengan seseorang.

Inilah mungkin saatnya orang tuanya menilai diriku sebelum menyetujuinya. Dan benar juga. Tekadku untuk tidak dijamah oleh siapapun, selain yang menjadi suamiku terwujud. Ia beritahukan aku bahwa orangtuanya setuju……… Ia jadi suamiku……… Kami saling mencinta. Dan tanpa kuketahui sebabnya aku dulu membiarkan tanganku dielusnya. Hanya itu. Dan dialah membelaiku kini dalam mengayuh rumah tangga bahagia kami. Hanya dia dan memang kepadanyalah aku curahkan segalanya.

Selaku suku Simalungun ia menuruti tradisi kami. Malam penuh bahagia itu, sang suami mempersembahkan sekapur sirih. Aku bersedia menerimanya, tanda kebahagiaanku bersamanya memasuki kesucian perkawinan.




Cerita di atas ditulis oleh Malulu antara tahun 1997-1999 di Batam. Malulu bukanlah nama sebenarnya dari si penulis. Nama sebenarnya dari Malulu adalah (the late) Apulman Saragih. Tapi waktu aku menemukan tulisan itu dimuat di Poldung, nama penulisnya memang Malulu. Poldung sendiri adalah sebuah tabloid yang diterbitkan oleh Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Resort Batam yang pada saat itu yang menjadi pendeta di sana adalah penulis sendiri. Gak ngerti deh masih terbit apa ndak tuh tabloid. Soalnya yang punya ide tuh tabloid untuk terbit kayaknya sih si penulis sendiri yang sekarang sudah gak ada lagi. Waktu pertama membaca sih aku udah ngerti kalau itu cerita sebenarnya kisah yang pernah dialami si penulis, karena aku sudah pernah dengar sendiri cerita itu langsung dari istri si penulis. Tapi memang "aku" dalam cerita itu jelas bukan si penulis, melainkan istri si penulis. Si penulis sudah jelas dong berperan sebagai apa dalam cerita itu. Dan apa hubungannya antara penulis dengan aku? Yeah, he's my late dad. A great dad yang bukan kami keluarganya aja yang merasa kehilangan. Tapi sayang salah satu penyebab dia pergi adalah aku. And now I miss him so much. I never felt like this before he left. Miss you, Dad.

2 comments:

another storage... said...

hai vontho..
wahhh.... ntar pake shoutbox juga kan? hehehe.. jadi bisa "chit-chat" disitu dehhh.. :)

another storage... said...

vontoh, pleasae visit my multiply page yaa...
http://ibukomandan.multiply.com